*****
Pernyataan calon presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto, tentang pemberitaan aksi reuni 212, beberapa pekan ini banyak jadi perbincangan, mulai dari dunia maya hingga dunia nyata.
Ketua Umum Partai Gerindra ini mengecam profesi jurnalis terkait dengan pemberitaan Reuni 212. Prabowo geram, karena banyak media tak meliput Reuni 212, di Monumen Nasional (Monas), Minggu (2/12).
Prabowo mengeluhkan soal pemberitaan tentang jumlah massa Reuni 212. Dia menganggap media sudah berpihak dan bahkan meminta pendukungnya tak usah menghormati wartawan.
Video yang beredar dan memperlihatkan 'ketidaksenangannya' terhadap profesi wartawan itu beredar luas di media sosial.
Anggota Dewan Pers, Hendry Ch Bangun, yang dilansir sejumlah media nasional, menegaskan, jika keputusan media tak menjadikan reuni 212 sebagai berita utama, menunjukkan independensinya. Sebab media harus bebas dari tekanan.
Menurutnya, ketika menurunkan sebuah headline, media mempertimbangkan dengan baik visi dan misinya.
Pernyataan menyerang wartawan itu bukan kali pertama. Dari catatan CNN, ada sejumlah kasus yang melibatkan Prabowo dengan jurnalis.
Pada 25 Oktober 2013, Prabowo pernah menyerukan agar masyarakat tidak lagi mempercayai pemberitaan di media massa. Sebab menurutnya, wartawan bisa disogok. Keesokan harinya, Prabowo meminta maaf kepada para wartawan.
Pada 9 Juli 2014, di Hambalang, Bogor, Ketua Umum Partai Gerindra ini kembali marah besar kepada sejumlah reporter televisi. Ia menilai pemberitaan yang ditayangkan oleh beberapa media televisi kerap menyudutkan dirinya.
Pada 14 Juli 2014, Prabowo kembali melontarkan amarahnya saat jumpa pers di Wisma Proklamasi, Menteng, Jakarta Pusat. Prabowo menolak menjawab pertanyaan yang diberikan oleh wartawan The Jakarta Post, karena tudingan keberpihakan dari pemilik media tersebut.
Lalu, Agustus 2017, Prabowo menyinggung gaji wartawan yang menurut dia kecil. "Kita belain para wartawan. Gaji kalian juga kecil kan? Kelihatan dari muka kalian. Muka kalian kelihatan enggak belanja di mal. Betul ya? Jujur, jujur," kata Prabowo.
April 2018, Ketua Umum Partai Gerindra ini, kembali menyinggung gaji wartawan yang kecil di hadapan ratusan pengurus, kader dan juga simpatisan Partai Gerindra. Prabowo menilai para wartawan memiliki kesamaan nasib dan perasaan dengan rakyat kecil yang mendukung Partai Gerindra, yakni sama-sama memiliki gaji kecil.
Sikap ketidaksenangan Prabowo banyak tampak dari berbagai kesempatan. Seperti saat sebelum penetapan dirinya sebagai Capres. Saat ditanya wartawan siapa akan jadi penantang Jokowi dari kubu Gerindra, Prabowo malah bersoloroh. "Kamu saja," jawab Prabowo, dengan nada tinggi sambil menunjuk wartawan yang bertanya.
ANCAMAN KEMERDEKAAN PERS
Dalam catatan yang ada, Prabowo memperlihatkan sikap yang tidak senang dikritik dan cenderung menyerang pihak yang dianggapnya tak pro dengan dirinya.
Sikap itu tampak diperlihatkan saat berhadapan dengan wartawan. Ia bahkan menolak wawancara dengan wartawan yang dianggapnya tak pro dengannya.
Penulis mengkhawatirkan, jika Prabowo terpilih menjadi Presiden, akan berupaya membungkam media dan pihak-pihak yang dianggapnya tidak pro dengan kepentingannya.
Sebab sikap itu sudah terlihat sejak lama. Cenderung menyerang bagi yang dianggapnya tidak pro. Seperti yang beberapa kali diperlihatkan kepada profesi wartawan.
Prabowo dengan lantang menyerang media yang dianggapnya tidak objektif dalam kacamatanya. Ketidaksenangannya terhadap profesi wartawan ini bisa berdampak ancaman kepada kemerdekaan pers di Indonesia, jika Prabowo memegang kuasa di negeri ini.
Padahal, dalam Undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, BAB II Pasal 2, menyebutkan, Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.
Media dikhawatirkan akan sulit melakukan kritik terhadap kebijakan pemerintah. Padahal media punya tiga fungsi utama. Pasal 3 UU 40 1999, Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.
Wacana DPR merevisi UU 40 tahun 1999 tampaknya akan mudah terwujud jika Prabowo menang di Pilpres 2019. Revisi ini tentu akan menjadi ancaman terhadap kemerdekaan pers.
Sebab kemerdekaan pers saat ini mengancam pihak-pihak tertentu, yang ingin mengambil untung besar lewat praktek ilegal di negeri ini.
Sikap Prabowo ini mengingatkan kita terhadap rezim orde baru, yang cenderung mengekang pihak-pihak yang berupaya mengeritik kebijakannya.
Pada era orde baru, diberlakukan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUUP). Ini diberlakukan agar penguasa bisa seenaknya mencabut SIUUP atau membredel media jika dianggap mengancam kekuasaan orde baru.
Pemberlakuan SIUUP ini mencerminkan usaha nyata ke arah pelaksanaan kebebasan pers yang dikendalikan oleh pemerintah, atau kebebasan pers yang bertanggung jawab pada pemerintah, suatu bentuk pengadopsian terhadap teori pers otoriter.
Pers adalah lembaga kemasyarakatan, sebagai lembaga kemasyarakatan, pers merupakan subsistem kemasyarakatan tempat ia berada bersama dengan subsistem lainnya. Dengan demikian maka pers tidak hidup secara mandiri, tetapi dipengaruhi oleh lembaga-lembaga kemasyarakatan lain.
UU 40 tahun 1999 Bab I pasal 1 disebutkan, pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, megolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
Definisi pers tersebut menunjukkan bahwa pers di Indonesia tegas-tegas merupakan lembaga kemasyarakatan, bukan lembaga pemerintah, bukan terompet pemerintah. Dengan kata lain, pers kita menganut teori tanggung jawab sosial.
Pers dipengaruhi, bahkan ditentukan oleh falsafah dan sistem politik negara tempat pers itu hidup.
Pers di negara dan di masyarakat tempat ia berada, bersama mempunyai fungsi yang universal. Akan tetapi, sejauh mana fungsi itu dapat dilaksanakan bergantung pada falsafah dan sistem politik negara tempat pers itu beroperasi.
Fred S Siebert, Theodore Peterson dan Wibur Schramm (1963), dalam Four Theories of the Press membedakan teori pers ke dalam empat kategori, yakni teori pers otoriter, teori pers liberal, teori pers komunis, teori pers tanggungjawab sosial.
Pers Indonesia, dalam Undang-undang nomer 40 tahun 1999, sangat jelas, pers Indonesia menganut teori tanggung jawab sosial. Mengenai hal ini secara jelas dicantumkan pada pasal 15 (tentang peran dewan pers dan keanggotaan dewan pers), dan pasal 17 (tentang peranan masayarakat dalam kehidupan pers) UU no 40 tahun 1999.
Namun demikian, kemerdekaan pers di Indonesia banyak disalahgunakan oknum-oknum tertentu. Namun itu bukan alasan untuk menutup keran kemerdekaan pers. Sebab dalam kode etik wartawan Indonesia, jelas menyebutkan, seluruh pemberitaan adalah untuk kepentingan orang banyak. Wartawan wajib beri'tikad baik dalam semua berita yang disajikannya.
Namun perlu dipahami, pers punya sisi idealisme dan bisnis. Menurut Haris Sumadiria (2004) pers hanya akan bisa berdiri kokoh apabila bertumpu pada tiga pilar penyangga utama, yang satu sama lain berfungsi saling menopang, yakni idealisme, komersialisme, dan profesionalisme. (*)
Palopo, 9 Desember 2018
Oleh: Abd Rauf
* Wartawan, Alumni Jurusan Komunikasi Jurnalistik, UIN Alauddin Makassar
Post a Comment