ilustrasi/int |
"Yang terucap akan hilang terbawa angin, yang tertulis akan abadi sepanjang zaman." Kira-kira demikian ungkapan yang selalu diucapkan dosen dan teman-teman saya saat kuliah.
Menulis bagi saya adalah aktivitas berfikir yang lebih terstruktur, dengan kata dan kalimat yang lebih bermakna. Bagi saya, menulis itu setingkat lebih di atas levelnya dibanding yang hanya tahu berbicara.
Sebab, aktivitas berbicara, sejak manusia lahir sudah dilakukan. Sedangkan era tulis menulis muncul jauh setelah keberadaan manusia di dunia ini. Bahkan, dengan adanya tulisan, para ilmuan menyebut, jika ada ditemukan tulisan pada peradaban kuno, maka itu dipastikan pada zaman itu, peradabannya sudah berkembang.
Menulis juga adalah aktivitas para cendekiawan. Pemikiran yang dituangkan akan jauh lebih awet jika dituangkan dalam tulisan. Aktivitas menulis itu adalah aktivitas orang-orang berilmu yang punya pemikiran original. Bagi saya, para tokoh, utamanya para ulama, jika tidak punya karya tulis, saya biasa meragukan originalitas pemikirannya. Bahkan pemikirannya biasanya sulit dicerna dan kita tidak tau mana yang menjadi hasil pemikirannya. Tokoh yang tidak punya pemikiran original dan tidak punya karya yang bisa dibaca, biasa ketokohannya akan hilang seiring dengan waktu dan bergantinya generasi. Pemikiran yang bisa diterima masyarakat juga bisa dilihat dari buku yang ditulis dan itu laris serta sering dijadikan referensi.
Namun sayangnya, di Indonesia pada umumnya, meski tokoh yang kita anggap ulama atau kyai, tapi terkesan sangat sedikit yang bisa berdakwa lewat tulisan atau punya karya tulis, utamanya dalam bentuk buku. Kalaupun mereka punya karya tulis, paling hanya berupa jurnal, sebagai pra syarat kenaikan pangkat atau jabatan.
Ini sebenarnya memiriskan, karena banyak tokoh yang dianggap punya kharisma di masyarakat, punya pengaruh, tapi tidak punya karya yang bisa dibaca generasi mendatang. Hasil pemikirannya sangat disayangkan kalau harus hilang begitu saja. Tengoklah beberapa tokoh yang mampu dikenang sampai sekarang karena tulisannya.
Salah satu indikasi kalau masyarakat setempat punya pemikiran yang layak 'jual' atau punya nilai tersendiri dibanding yang lainnya, adalah masyarakatnya aktif menulis. Salah satu kualitas masyarakat akademis di perguruan tinggi adalah civitas akademiknya rajin menulis, utamanya di media massa lokal dan nasional.
Menulis juga bagian dari cara menyampaikan aspirasi dan cara berekspresi yang lebih beradab. Berbagi informasi dan pengetahuan yang lebih mudah. Dengan menulis, citra dan kualitas pemikiran seseorang bisa lebih baik. Itulah mungkin sebabnya, terlepas dari imej negatifnya, wartawan dikenal rata-rata cerdas.
Banyak media untuk menayangkan tulisan sehingga bisa dibaca publik. Bisa menjadi penulis lepas di beberapa media ternama, membuat blog atau website pribadi, jurna-jurnal, atau media lainnya.
Blog yang baru ini saya buat, untuk menjadi wadah berekspresi saya, dan sebagai tempat belajar dan mengasah kemampuan menulis. Menulis ikhlas, tanpa dibayar. Hanya untuk mendapat bayaran kenikmatan batin. Mari biasakan menulis tanpa pamrih. Hehee.... (***)
Makassar, 21 Februari 2015
Post a Comment