Hamparan sawah di Desa Buakkang |
Untuk menikah, tak cukup punya uang atau hanya kemapanan materi, tapi juga butuh keberanian dalam membangun rumah tangga. Meski belum cukup secara materi, namun yang menjadi modal utama adalah keberanian.
Setelah bergelut dengan rutinitas keseharian yang sedikit melelahkan, saya memutuskan untuk berkunjung ke kampung halaman.
Minggu 22 Februari 2015 sore, cuaca cerah. Saya menelusuri jalan menuju ke kampung halaman, dimana orangtua tinggal, Dusun Sapakeke, Desa Buakkang Kecamatan Bungaya Kabupaten Gowa. Sekitar 60 km dari Sungguminasa, ibu kota Kabupaten Gowa.
Sebagai dataran tinggi Gowa, jalan menuju ke sana cukup menantang. Jalanan berbelok dan menanjak, bentuk jalanan seperti huruf S. Meski berbelok dan menanjak, tapi sudah mulus, dan saya nikmatinya.
Dengan laju sepeda motor sedang, sekira sejam saya sampai di wilayah kampung halaman. Sebelum sampai di kampung, saya melihat teman lama, sedang duduk di teras rumahnya. Badannya kurus kering, senyumnya mekar. Saya pun memutuskan untuk singgah.
Teman saya ini sudah masuk tiga tahun selesai kuliah, sekitar tahun 2012 dia wisuda sarjana. Dia masih melajang. Sekampungnya, untuk seumurannya, tinggal dua orang yang belum berkeluarga. Kedua teman lama saya ini memang agak pendiam, dan tampaknya belum cukup keberanian untuk merebut hati perempuan, baik itu melalui jalur pacaran, apalagi untuk menikah.
Saya singgah sebenarnya untuk melepas kangen, setelah sekitar empat tahun tak pernah bersua. Saya kira teman ini sudah menikah. Karena seorang laki-laki lama melajang setelah selesai kuliah, kalau di kampung, itu tidak biasa. Namun teman ini mengaku belum menikah. Ia tidak membeberkan apa alasan sebenarnya sehingga belum menikah. Namun yang jelas, ia meminta dicarikan pendamping hidup.
Saya kemudian 'menawarkan' salah seorang teman. Teman perempuan saya ini, saya anggap sudah mapan. Kelahiran '86. Seorang bidan PTT di desa. Setelah saya memperkenalkannya. Ia kemudian menanyakan seputar cewek yang saya 'tawarkan' itu. Dan sepertinya ia tertarik. Tapi tampaknya belum cukup keberanian.
Saat itu saya bertiga. Satu orang lainnya sudah berkeluarga. Orang itu mengaku, kalau selama ini perempuan dikatakan akan banyak tertarik kepada kendaraan yang dimiliki laki-laki, ternyata menurutnya tidak sepenuhnya benar. Sebab menurutnya, tergantung orangnya, berani atau tidak menarik simpati perempuan.
"Perempuan itu tidak mau kalau dia yang mulai. Ini pengakuan beberapa orang kepada saya. Makanya butuh keberanian dan kenekatan," jelas orang itu.
Saya kemudian merenungkan kata-kata nekat dan berani. Orang kampung hampir semuanya menikah karena nekat. Saya bilang nekat karena dari segi materi, kebanyakan mereka yang menikah ini belum punya penghasilan.
Tapi mereka berani membangun mahligai rumah tangga mulai dari nol. Suami istri bersama-sama membangun pondasi untuk mengarungi samudera kehidupan menuju pulau impian.
Mereka yang membangun dari nol ini, akan tampak lebih bernilai dan rumah tangga biasanya akan lebih langgeng. Sebab perjuangan bersama akan selalu merekatkannya. Hal ini biasanya berbeda dengan orang kota kebanyakan. Mereka bahkan harus rela 'menua' untuk menunggu sampai mapan, atau minimal punya penghasilan sendiri, lalu memutuskan untuk menikah. (***)
Post a Comment