Sebelum saya menulis lebih banyak kata, saya mohon maaf. Tulisan ini bukan untuk menyinggung siapapun. Sebab ada orang sensitif kalau bicara soal kenyataan. Hehe
Meski nyatanya memang botak, namun ada saja orang yang tersinggung kalau disebut botak. Yah, karena memang tidak semua realitas itu harus dibicarakan dan disampaikan. Begitu juga dengan wartawan, tak semua fakta harus ditulis.
***
Beberapa hari lalu, saya mampir di tempat Pangkas Rambut, yang murah meriah, di Palopo. Hanya Rp10 ribu.
Saya memang tidak biasa potong rambut di tempat elit. Selain karena tidak memberatkan isi kantong, juga hitung-hitung membantu menghidupkan pengusaha kecil.
Soal hasil, bagi saya, nyaris sama saja di tempat elit dan di pinggiran jalan. Apalagi kalau hanya cukur plontos.
"Kasi pendek ki saja. 1 centi-mo," kata ku.
"Pendek itu pak," cetus tukang cukur yang kebetulan ibu-ibu itu.
"Biar-mi. Saya tidak suka sisir. Tidak biasa. Haha," sanggah ku.
Ia pun langsung mengambil alat cukurnya. Hanya beberapa menit, langsung mengkilap. Gundul.
Saya suka kepala gundul, sebab tidak merepotkan. Tak perlu banyak biaya. Tak butuh sisir.
Apalagi minyak rambut. Keramas juga tak perlu banyak air dan tak perlu lama menunggu rambut kering.
Oh ya, bagi saya, gundul itu beda dengan botak. Sederhananya, gundul itu rambut ada atau bisa tumbuh, namun dipotong pendek sekali.
Sementara botak, menurut saya, lebih pada kepala yang memang enggan ditumbuhi rambut. Biasanya karena faktor penyakit atau keturunan.
Botak dan gundul sebenarnya sama-sama keren. Botak juga ada namanya 'botak seksi.' Semuanya tergantung di sudut mana ia memandang. (***)
Palopo, Rabu 17 Mei 2017
Post a Comment