![]() |
| Gerbang masuk ke gua Arung Palakka di Benteng Kesultanan Buton. |
SETIDAKNYA ada dua hal yang langsung menarik perhatian saya ketika kali pertama menjejakkan kaki di Pulau Buton, Kota Baubau: patung naga raksasa yang berdiri gagah di tengah kota, dan gua Arung Palakka yang tersembunyi di bawah Benteng Keraton Buton, benteng terbesar di dunia yang tercatat di Museum Rekor Indonesia.
Sudah lama saya tidak menulis di blog. Terakhir tahun 2022. Tapi perjalanan ke Baubau ini terlalu sayang jika hanya disimpan dalam ingatan. Ia seperti memanggil untuk diceritakan, tentang sejarah, tentang keberanian, dan tentang perjalanan yang mengubah cara pandang saya terhadap Sulawesi bagian tenggara.
Perjalanan Menuju Baubau
Perjalanan kami dimulai dari Kota Kendari, ibu kota Provinsi Sulawesi Tenggara. Dengan sepeda motor, kami menempuh jalan berliku sejauh kurang lebih 90 kilometer menuju Pelabuhan Ferry Amolengo–Labuan, pintu gerbang menuju Pulau Buton.
Belum ada sistem tiket daring di pelabuhan ini. Begitu tiba, kami langsung diarahkan naik ke kapal ferry. Tiketnya hanya Rp90 ribu untuk satu motor dan dua penumpang.
Pelabuhan ini menghubungkan Kabupaten Konawe Selatan dan Kabupaten Buton Selatan, dengan jadwal penyeberangan lima kali setiap hari.
Dari Amolengo ke Labuan, perjalanan laut memakan waktu sekitar 1 jam, ditiup angin asin dan ombak kecil yang menggoda rasa ingin tahu akan daratan di seberang sana.
Begitu tiba di Labuan, kami melanjutkan perjalanan darat sekitar 5 jam menuju Baubau. Jalanan panjang, sunyi, tapi sesekali disapa pemandangan yang menenangkan.
Saat matahari mulai condong ke barat, kota Baubau menyambut kami dengan siluet patung kepala naga di Pantai Kamali, tanda kami sudah tiba di tanah penuh legenda.
Keraton Buton dan Gua di Bawahnya
Benteng Keraton Buton berdiri di puncak bukit, berbentuk segi empat melingkar, memeluk kota dengan pandangan luas ke arah laut. Dari atas sini, angin membawa aroma garam dan sejarah.
Namun, di balik tembok-tembok batu yang tampak kokoh itu, tersimpan kisah yang tak kalah dramatis dari naskah sejarah kerajaan mana pun: kisah Arung Palakka, pangeran pelarian dari Bone yang menjadi simbol perlawanan dan penaklukan di abad ke-17.
Sebuah jalan setapak di sisi tebing menuntun langkah kami menuju gua Liana Latoondu, yang oleh warga disebut sebagai “gua Arung Palakka.” Jalannya sudah disemen, tapi tetap menantang.
Setiap langkah terasa seperti menyusuri lorong waktu. Di ujungnya, gua itu menyambut kami dalam diam, sederhana dan bergetar oleh aura masa lalu.
Arung Palakka dikenal sebagai Raja Bone (1672–1696) dengan julukan Petta Malampe’e Gemme’na, Sang Pangeran Berambut Panjang.
Ia adalah musuh bebuyutan Sultan Hasanuddin dari Gowa, Sang Ayam Jantan dari Timur.
Setelah kekalahan Bone di tangan Gowa, Arung Palakka melarikan diri, mencari perlindungan, dan menemukannya di tanah Buton di bawah lindungan Sultan Malik Siraullah (La Awu).
Namun, kabar persembunyian itu sampai ke telinga Gowa. Pasukan Bontomarannu datang menuntut agar Arung Palakka diserahkan.
Di titik genting itu, Sultan Buton mengucap sumpah yang menjadi legenda:
“Saya tidak bohong. Tapi kalau benar Arung Palakka ada di atas tanah Buton, maka seluruh rakyat Buton akan terkena pogoso (bibir pecah-pecah).”
Sumpah itu selamat dari kutukan, karena Arung Palakka disembunyikan bukan di atas tanah, melainkan di bawahnya, di gua batu Latoondu.
Nama Latoondu berasal dari gabungan kata “La” (awalan nama laki-laki Buton) dan “Tounru” (Penakluk). Maka, Liana Latoondu berarti Gua Sang Penakluk. (*)

Post a Comment