Jumat berkah. Pagi tadi, motor butut saya kehausan. Minuman di tangkinya habis.
Di tengah perjalanan menuju masjid salat Jumat. Dalam kota. Jalan poros. Sejauh mata memandang, tak ada penjual bensin botolan. Apalagi SPBU. Jauh.
Berkahnya, belum sampai semeter mendorong motor, tiba-tiba ada orang yang menawarkan kebaikannya. Dorong. Mungkin dia malaikat. Dalam arti luas.
Sekitar 200 meter, belok masuk lorong, ternyata ada penjual bensin. Pakai alat mirip di SPBU. Orang biasa menamainya Pertamini. Di toko kelontong. Tapi tak ada nama Pertamini tertulis.
Di bagian depan Pertamini itu, ada tulisan nama orang yang saya kenal. Pemain di persoalan BBM.
Saya tanya pemiliknya, apa beliau pemasoknya? Katanya iya. Dibeli Rp15 juta. Dibuat di Makassar.
Pertamini itu dirakit. Ada drum tempat BBM di dalam. Bungkusnya plat seng. Lengkap dengan selan dan alat ukur digital. Dibuat semirip mungkin dengan yang di SPBU Pertamina.
Sang pemilik Pertamini mengeluhkan sulitnya dapat bensin subsidi di SPBU. Lalu ia protes, apa bedanya dengan penjual bensin botolan.
Beli di Pertamini lebih murah dari bensin botolan. Di Pertamini dijual Rp8.500/liter. Bensin eceran Rp10 ribu per botol.
Ia lantas bercerita. Katanya, beberapa rekannya sesama pemilik Pertamini, kerap didatangi oknum. Tak meminta apapun. Cuma katanya, tidak pergi kalau tidak diberi 'semacam.'
Bisnis BBM memang agak rumit. Beberapa waktu lalu, ada gelombang protes dari pemilik Pertamini. Karena ada edaran BP Migas melarang beroperasi. Ilegal.
Protes itu bermuara ke DPRD. Wakil rakyat dilema. Di sisi lain ilegal. Lain sisi dibutuhkan. Seperti saya yang kehabisan bensin. Cukup menolong. Hihihi.
Mereka juga pedagang kecil. Yang paling urgen sebenarnya, para penimbun BBM bersubsidi. Yang kerap beraksi. Dijual ke industri. Pelakunya bermodal cukup. Pun, mungkin, dibekingi oknum berpangkat.
Kalau ada yang bertanya, adakah? Jawabnya ada. Buktinya, ada pernah ditangkap, tapi dibiarkan tak ditahan. Mobil dan orangnya.
Fenomenanya mungkin seperti gunung es. Hanya sedikit yang ketahuan.
Tapi yaaah, biarkanG bammi. Hahaha. (*)
Di tengah perjalanan menuju masjid salat Jumat. Dalam kota. Jalan poros. Sejauh mata memandang, tak ada penjual bensin botolan. Apalagi SPBU. Jauh.
Berkahnya, belum sampai semeter mendorong motor, tiba-tiba ada orang yang menawarkan kebaikannya. Dorong. Mungkin dia malaikat. Dalam arti luas.
Sekitar 200 meter, belok masuk lorong, ternyata ada penjual bensin. Pakai alat mirip di SPBU. Orang biasa menamainya Pertamini. Di toko kelontong. Tapi tak ada nama Pertamini tertulis.
Di bagian depan Pertamini itu, ada tulisan nama orang yang saya kenal. Pemain di persoalan BBM.
Saya tanya pemiliknya, apa beliau pemasoknya? Katanya iya. Dibeli Rp15 juta. Dibuat di Makassar.
Pertamini itu dirakit. Ada drum tempat BBM di dalam. Bungkusnya plat seng. Lengkap dengan selan dan alat ukur digital. Dibuat semirip mungkin dengan yang di SPBU Pertamina.
Sang pemilik Pertamini mengeluhkan sulitnya dapat bensin subsidi di SPBU. Lalu ia protes, apa bedanya dengan penjual bensin botolan.
Beli di Pertamini lebih murah dari bensin botolan. Di Pertamini dijual Rp8.500/liter. Bensin eceran Rp10 ribu per botol.
Ia lantas bercerita. Katanya, beberapa rekannya sesama pemilik Pertamini, kerap didatangi oknum. Tak meminta apapun. Cuma katanya, tidak pergi kalau tidak diberi 'semacam.'
Bisnis BBM memang agak rumit. Beberapa waktu lalu, ada gelombang protes dari pemilik Pertamini. Karena ada edaran BP Migas melarang beroperasi. Ilegal.
Protes itu bermuara ke DPRD. Wakil rakyat dilema. Di sisi lain ilegal. Lain sisi dibutuhkan. Seperti saya yang kehabisan bensin. Cukup menolong. Hihihi.
Mereka juga pedagang kecil. Yang paling urgen sebenarnya, para penimbun BBM bersubsidi. Yang kerap beraksi. Dijual ke industri. Pelakunya bermodal cukup. Pun, mungkin, dibekingi oknum berpangkat.
Kalau ada yang bertanya, adakah? Jawabnya ada. Buktinya, ada pernah ditangkap, tapi dibiarkan tak ditahan. Mobil dan orangnya.
Fenomenanya mungkin seperti gunung es. Hanya sedikit yang ketahuan.
Tapi yaaah, biarkanG bammi. Hahaha. (*)
Masjid Agung Luwu Palopo, 4 Oktober 2019
Post a Comment