Khusus prosesi tabur bunga, saya kali pertama ikut. Seumur hidup saya.
Untuk upacara 17-an, sering. Dulu. Setamat sekolah, tak pernah lagi ikut berbaris sebagai peserta upacara 17-an. Hingga kini.
Dulu, terus terang hanya terpaksa. Dipaksa ikut upacara. Berpanas-panasan.
Bagi saya, semangat nasionalisme tak melulu upacara. Cinta negeri tak mesti bersolek simbol.
Namun jika tanpa simbol, lalu dengan apa kita menilai?
Bagi anak muda, jangan bermimpi membangun bangsa. Kalau bangun pagi saja tak mampu. Begitu tulisan yang banyak terpampang di dinding sekretariat organisasi kemahasiswaan.
Tabur bunga atau ziarah kubur. Bagi saya bukan untuk meratapi mereka yang mendahului. Tapi mengingat kematian. Mengenang perjuangannya.
Haruskah kita sedih? Saya rasa mereka akan marah jika anak cucunya sedih. Mereka telah berhasil memperjuangkan kemerdekaan. Saatnya untuk menikmati. Dengan cara apa? Lewat karya. Yang bermanfaat bagi bangsa dan negara.
Mengisi kemerdekaan lewat karya. Merdeka berkarya. Memerdekakan diri dari belenggu kemalasan. Merdeka dari saling caci. Merdeka dari kungkungan ego.
Yang terpenting, memerdekakan batin. Mudah-mudahan tidak ada diantara kita yang secara fisik merdeka, namun batinnya masih ada di penjara masa lalu. Move on donk. Haha... (*)
Palopo, 17 Agustus 2019
Post a Comment