SAYA ingin bercerita malam ini. Sebelum tidur. Tentang seorang nenek. Yang 'memaksa' saya harus 'ngojek' tengah malam. Hujan pula.
Sepulang saya dari warkop. Ngobrol bersama dengan anak muda optimis. Menatap masa depan. Penuh cahaya. (Jangan ketawa, aminkan saja).
Saya singgah di toko kelontong. Hendak membeli sikat gigi. Namun di toko itu habis.
Saat itu, seorang nenek menghampiri saya. Pakai tongkat kayu. Plus kantong plastik hitam. Kalau tidak salah liat.
"Antar saya ke Jl Rusa, nak. Ini uang Rp20 ribu," kata seorang nenek, sambil menyodorkan uang pecahan Rp2.000.
Nenek itu mungkin sudah usia 70-an. Berpakaian lusuh. Berjilbab.
Tanpa berpikir panjang. Memutar arah. Sebenarnya saya mengarah ke selatan. Tapi harus memutar haluan, ke utara.
Saya memutuskan mengantarnya. Tanpa mengambil uang yang disodorkan. Hujan-hujanan.
Ia beralasan, tukang ojek yang biasa menjemputnya tak datang. Tak ada ojek tengah malam. Mau ojek online? Mana ada HP. Dan kalaupun punya, saya pastikan nenek itu tak tau menggunakannya.
Lagi pula hujan. Tapi sudah mulai reda.
Dalam perjalanan, ia sempatkan bercerita.
Katanya tinggal sendiri. Di rumah yang diberi seseorang. Saya lupa namanya. Di Jl Rusa. Tak jauh dari rumah anggota DPRD Palopo. Nenek itu mengenal anggota dewan itu. Sesekali ia dibantu.
Asalnya dari Jawa. Sudah puluhan tahun di Palopo. Sebelum Palopo jadi daerah otonom. Katanya punya anak di Jawa. Cuma juga tak mampu.
Saya tanya, mau dibawa pulang ke Jawa? Ia mengaku sudah pasrah. Ingin mati di Palopo saja.
Nenek itu mengaku namanya Ani Muriani. Ia setiap malam duduk di pintu keluar Alfamidi Binturu.
Diantar jemput ojek. Penghasilannya tiap malam lumayan. Untuk dipakai hidup. Mulai isya sampai tengah malam.
"Saya tidak meminta. Hanya orang biasa memberi saya," timpalnya, saat saya singgung soal tempat mangkalnya.
Sejak naik di motor, hingga turun di dekat rumahnya, Nenek Ani beberapa kali mengucap doa. Mendoakan saya. Semoga doa orang-orang baik selalu menyertai kita semua. Amiin. (*)
Sepulang saya dari warkop. Ngobrol bersama dengan anak muda optimis. Menatap masa depan. Penuh cahaya. (Jangan ketawa, aminkan saja).
Saya singgah di toko kelontong. Hendak membeli sikat gigi. Namun di toko itu habis.
Saat itu, seorang nenek menghampiri saya. Pakai tongkat kayu. Plus kantong plastik hitam. Kalau tidak salah liat.
"Antar saya ke Jl Rusa, nak. Ini uang Rp20 ribu," kata seorang nenek, sambil menyodorkan uang pecahan Rp2.000.
Nenek itu mungkin sudah usia 70-an. Berpakaian lusuh. Berjilbab.
Tanpa berpikir panjang. Memutar arah. Sebenarnya saya mengarah ke selatan. Tapi harus memutar haluan, ke utara.
Saya memutuskan mengantarnya. Tanpa mengambil uang yang disodorkan. Hujan-hujanan.
Ia beralasan, tukang ojek yang biasa menjemputnya tak datang. Tak ada ojek tengah malam. Mau ojek online? Mana ada HP. Dan kalaupun punya, saya pastikan nenek itu tak tau menggunakannya.
Lagi pula hujan. Tapi sudah mulai reda.
Dalam perjalanan, ia sempatkan bercerita.
Katanya tinggal sendiri. Di rumah yang diberi seseorang. Saya lupa namanya. Di Jl Rusa. Tak jauh dari rumah anggota DPRD Palopo. Nenek itu mengenal anggota dewan itu. Sesekali ia dibantu.
Asalnya dari Jawa. Sudah puluhan tahun di Palopo. Sebelum Palopo jadi daerah otonom. Katanya punya anak di Jawa. Cuma juga tak mampu.
Saya tanya, mau dibawa pulang ke Jawa? Ia mengaku sudah pasrah. Ingin mati di Palopo saja.
Nenek itu mengaku namanya Ani Muriani. Ia setiap malam duduk di pintu keluar Alfamidi Binturu.
Diantar jemput ojek. Penghasilannya tiap malam lumayan. Untuk dipakai hidup. Mulai isya sampai tengah malam.
"Saya tidak meminta. Hanya orang biasa memberi saya," timpalnya, saat saya singgung soal tempat mangkalnya.
Sejak naik di motor, hingga turun di dekat rumahnya, Nenek Ani beberapa kali mengucap doa. Mendoakan saya. Semoga doa orang-orang baik selalu menyertai kita semua. Amiin. (*)
Palopo 13 Agustus 2019
Post a Comment