SALAH SATU kekhasan Lombok adalah kain tenun, dengan motif khas. Bahkan, di salah satu desa, syarat utama untuk bisa menikah, perempuan disana harus mampu menenun.
Tempat pertama yang kami kunjungi dalam perjalanan dari Makassar ke Lombok adalah desa tenun, di Desa Sukarara, Kabupaten Lombok Tengah.
Dari Makassar, kami menumpangi pesawat Lion Air, transit di Bandara Ngurah Rai Bali, lalu lanjut ke Bandara Internasional Lombok.
Dari Lombok International Airport, Lombok Praya, kami menuju Kecamatan Aikmel, Lombok Timur, untuk belajar tata kelola desa.
Kami tiba di Lombok Internasional Airport sekira pukul 10.30 WITA. Menuju Lombok Timur.
Namun, kami terlebih dulu singgah di desa tempat tenun kain khas Lombok, Desa Sukarara, Kabupaten Lombok Tengah.
Dalam perjalanan, Adi, sang guide, menginformasikan jika di desa itu, semua gadis diwajibkan belajar tenun. Gadis disana tak boleh diculik atau menikah jika belum pintar menenun.
Konon gadis disana cantik-cantik dan di balik filosofi menenun, tersimpan pelajaran dalam membangun rumah tangga.
Kami pun dibawa ke tempat menenun, yang dikelola koperasi. Papan nama tempat yang dikunjungi tertulis, 'Visitor's, Wellcome to Bahri, weaving group, Sukarara Village.'
Sampai disana, kami pun mencari gadis-gadis penenun. Namun sayangnya, tak ada gadis penenun dijumpai, yang ada hanya ibu-ibu paruh baya tengah asyik menenun.
Menurut ibu-ibu penenun itu, tak ada gadis yang menenun di tempat itu. Mereka menenun di rumah masing-masing. Sebab hampir semua rumah di desa itu punya alat tenun.
Pengelola koperasi tenun, Ali Umar, menjelaskan, tenun khas di Lombok, adalah motif subahnale, yang dibanderol Rp1,5 juta.
Untuk jadi satu kain motif subahnale, dengan ukuran 2x1 meter, penenun biasa menghabiskan waktu hingga 2,5 bulan.
"Motif subahnale ini asal katanya dari kata 'subhanallah.' Dari bahan katun. Harganya mahal, karena tingkat kesulitannya. Motif ini juga adalah motif tertua dengan banyak type," katanya.
Selain motif subahnale, ada juga motif lepang, yang artinya kodok. Itu bisa selesai selama sebulan. Sementara motif pinggiran, dengan harga Rp500 ribu, menjadi kain motif tenun termurah di tempat itu.
Untuk memenuhi hasrat wisatawan yang 'kere', pengelola koperasi menyiapkan kain dengan motif subahnale yang dilukis, bukan ditenun. Motif itu dilukis seperti proses membatik. Harganya berkisar Rp 200 ribu untuk ukuran 2x1 meter. (Bersambung)
Tempat pertama yang kami kunjungi dalam perjalanan dari Makassar ke Lombok adalah desa tenun, di Desa Sukarara, Kabupaten Lombok Tengah.
Dari Makassar, kami menumpangi pesawat Lion Air, transit di Bandara Ngurah Rai Bali, lalu lanjut ke Bandara Internasional Lombok.
Dari Lombok International Airport, Lombok Praya, kami menuju Kecamatan Aikmel, Lombok Timur, untuk belajar tata kelola desa.
Kami tiba di Lombok Internasional Airport sekira pukul 10.30 WITA. Menuju Lombok Timur.
Namun, kami terlebih dulu singgah di desa tempat tenun kain khas Lombok, Desa Sukarara, Kabupaten Lombok Tengah.
Dalam perjalanan, Adi, sang guide, menginformasikan jika di desa itu, semua gadis diwajibkan belajar tenun. Gadis disana tak boleh diculik atau menikah jika belum pintar menenun.
Konon gadis disana cantik-cantik dan di balik filosofi menenun, tersimpan pelajaran dalam membangun rumah tangga.
Kami pun dibawa ke tempat menenun, yang dikelola koperasi. Papan nama tempat yang dikunjungi tertulis, 'Visitor's, Wellcome to Bahri, weaving group, Sukarara Village.'
Sampai disana, kami pun mencari gadis-gadis penenun. Namun sayangnya, tak ada gadis penenun dijumpai, yang ada hanya ibu-ibu paruh baya tengah asyik menenun.
Menurut ibu-ibu penenun itu, tak ada gadis yang menenun di tempat itu. Mereka menenun di rumah masing-masing. Sebab hampir semua rumah di desa itu punya alat tenun.
Pengelola koperasi tenun, Ali Umar, menjelaskan, tenun khas di Lombok, adalah motif subahnale, yang dibanderol Rp1,5 juta.
Untuk jadi satu kain motif subahnale, dengan ukuran 2x1 meter, penenun biasa menghabiskan waktu hingga 2,5 bulan.
"Motif subahnale ini asal katanya dari kata 'subhanallah.' Dari bahan katun. Harganya mahal, karena tingkat kesulitannya. Motif ini juga adalah motif tertua dengan banyak type," katanya.
Selain motif subahnale, ada juga motif lepang, yang artinya kodok. Itu bisa selesai selama sebulan. Sementara motif pinggiran, dengan harga Rp500 ribu, menjadi kain motif tenun termurah di tempat itu.
Untuk memenuhi hasrat wisatawan yang 'kere', pengelola koperasi menyiapkan kain dengan motif subahnale yang dilukis, bukan ditenun. Motif itu dilukis seperti proses membatik. Harganya berkisar Rp 200 ribu untuk ukuran 2x1 meter. (Bersambung)
Post a Comment