Mengenangmu, saat kita kali pertama berjumpa. Saat itu saya masih kanak-kanak. Belum duduk di bangku sekolah dasar.
Rasa sayur alami produksi kebun yang hampir setiap saat melewati gerbang perut ku, saat itu terkalahkan dengan rasa pendatang baru. Jarang bertemu. Menawarkan rasa dengan bumbu yang entah terbuat dari mana.
Rasa itu kemudian menjadi istimewa. Bahkan saat demam, di saat semua makanan enggan lewat, mie menjadi pahlawan.
Namun saat beranjak duduk di bangku SMA, saat sudah jauh dari orangtua, mie mulai menjemukan. Sebab hampir setiap saat bertemu. Tenggorokan mulai letih dilewati bumbu.
Rasa ini berlanjut hingga ke bangku kuliah. Bosan. Seakan ingin meninggalkannya sejauh mungkin. Ditambah dengan pesan berantai yang mulai bersileweran, baik melalui pesan singkat (SMS) atau pun di media sosial, yang menyebutkan bahayanya mengonsumsi mie instan.
Namun saat dia lama tak menyapa tenggorokan ku, di saat itu pu muncul kerinduan sang lidah untuk mengunyahnya. Kini entah sudah menjadi hobi atau sekedar nostalgia. Yang jelas selalu ada kerinduan setiap minial dua hari sekali.
Dulu, pernah suka. Kemudian saat sudah lama bersama, timbul kebosanan. Hanya keterpaksaan membuatnya selalu berjumpa. Namun akhirnya kebosanan itu kembali berubah wujud kerinduan saat lama tak jumpa.
Kebersamaan dalam waktu lama mengubah banyak hal. Meski awalnya keterpaksaan, namun lama kelamaan akan berubah jadi kesenangan. Itulah hidup. Saya dan Mi Instan. (***)
Palopo, Sabtu malam, 4 Februari 2017, menunggu mata redup
Post a Comment