Pohon Sagu/foto: net |
Salah satu ikon yang dikenal di Kota Palopo atau wilayah Luwu Raya adalah sagu. Sagu dengan berbagai macam olahannya, telah menjadi makanan khas daerah ini. Namun pohon sagu ini sudah mulai berkurang dari waktu ke waktu. Juga sampai kini pohon sagu masih tumbuh liar di rawa-rawa. Belum ada upaya budidaya menanam untuk mempertahankan kuantitas sagu Palopo.
Saya ingat, kalau ada orang Makassar yang hendak ke wilayah Luwu Raya, pasti mereka akan meminta oleh-oleh sagu. Sagu ini sudah menjadi khas Palopo dan sekitarnya. Sagu diolah sedemikian rupa. Seperti kapurung, bagea, dange, dan aneka kue, serta masih banyak lagi olahan lainnya, yang tak kalah enaknya.
Selain itu, Tana Luwu juga dikenal dengan makanan khasnya, kapurung. Pada konser tiga besar Dangdut Acadamy (DA) di Indosiar, Jumat malam, 15 Mei, kontestan asal Tana Luwu, Evi Masamba, memperkenalkan kapurung di arena kontes tersebut, yang disiarkan secara live di Indosiar.
Ini berarti ikon kapurung bagi Tana Luwu semakin dikenal di Indonesia. Maka akan sangat disayangkan, jika bahan bakunya akan langka di Tana Luwu ini.
* * *
Jumat 15 Mei 2015. Saat saya melihat-lihat lokasi pameran Pekan Raya Palopo di pelataran Stadion Lagaligo Palopo. Saat itu, Sekretaris Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Palopo, M Taufiqurrahman, juga datang melihat langsung stand yang tengah dibuat.Stand tersebut dibuat dari bambu dengan atap daun sagu. Terjadi percakapan di sana, antara Sekretaris Bappeda dengan pekerja yang membuat stand tersebut. Salah satunya adalah mengenai kualitas daun sagu yang dibuat atap sekarang. Katanya, atap dari daun sagu dulu bisa bertahan puluhan tahun. Tapi sekarang sudah menurun kualitasnya. Alasannya, daun sagu sudah mulai langka. Susah diperoleh. Sehingga ini berpengaruh pada ketebalan atap dan pemilihan daun itu sendiri.
Saat mendengar hal itu, Sekretaris Bappeda spontan menyatakan, tidak lama lagi, kita akan mengimpor sagu. Kau tau dari mana? Kita akan mengimpor sagu dari Jepang. Kenapa? Karena saat ini Jepang telah melakukan penelitian, ternyata dari sekian bahan baku tepung, sagu yang paling banyak kadar tepungnya. Beras kalah dari sagu. Saat ini Jepang mulai membudidayakan sagu.
Tapi kita disini belum ada upaya budidaya secara baik. Sagu Papua juga begitu. Tidak ada budidaya tanaman sagu. Kalau ini dibiarkan, maka jangan heran kalau suatu saat nanti, kita akan mengimpor sagu.
Tulisan ini saya buat setelah mendengar pernyataan tersebut, yang memprediksi, Palopo akan mengimpor sagu dari Jepang suatu saat nanti.
Alasannya sederhana. Sampai saat ini belum ada langkah penyelamatan pohon sagu. Padahal setiap harinya konsumsi sagu kita luar biasa besarnya. Sementara pohon sagu kita terus berkurang populasinya. Dan sampai saat ini belum ada budidaya pohon sagu. Sementara pohon sagu baru bisa dipanen jika sudah sampai berumur sekitar 5 tahun, atau sudah besar.
Prediksi ini, saya rasa tidak menutup kemungkinan akan terjadi. Pasalnya, memang tidak ada budidaya tanaman sagu. Masih tumbuh liar. Di samping itu, lahan sagu juga mulai tergerus pembangunan. Upaya pemerintah se Luwu Raya juga tampaknya tidak ada.
Sebenarnya, jika ada yang punya lahan untuk budidaya pohon sagu, juga termasuk hal yang prospek. Sebab selain sagunya, daunnya juga bermanfaat untuk dijadikan kerajinan atap.
Lalu adakah yang peduli? Entahlah. Sepertinya pecinta kapurung, bagea, dan dange, sebaiknya bukan hanya melihat makanannya. Tapi setidaknya bisa melihat bahan bakunya yang terancam punah. Semoga. (***)
Palopo, 16 Mei 2015
Post a Comment