Minggu, 8 Februari 2015 pagi. Saya memutuskan jalan-jalan ke Anjungan Pantai Losari. Di Losari, ada tulisan empat suku asli penghuni Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel), beserta kekhasan empat suku tersebut. Makassar, Bugis, Mandar, dan Toraja.
Masih pagi buta, sekira pukul 04:50 wita subuh. Saya sudah terbangun. Jam bangun saya saat itu termasuk cepat, dua jam lebih cepat dari biasanya. Kalau biasanya setelah saya terbangun subuh, mata saya sulit dibuka karena mengantuk. Namun kali ini, mata sudah menolak kembali tidur.
Lalu, beberapa menit kemudian, terdengar suara adzan subuh. Tubuh ini kemudian bangkit dari tempat tidur. Langsung saja mengambil air wudhu, lalu salat subuh.
Setelah salat, tanpa doa yang panjang, saya kemudian mengambil sepatu sport milik saudara saya, lalu meraih kunci motor, dan tak lupa uang bensin serta untuk beli nasi kuning. Saya lalu berangkat menyusuri jalan raya menuju area car free daya di kawasan Pantai Losari. Sebenarnya, sudah sejak hari Minggu lalu, sejak saya sampai ke Makassar, berencana jalan-jalan ke pantai kebanggan Makassar itu. Namun karena telat bangun, makanya baru kali ini akhirnya terwujud.
Dari Pallangga, Kabupaten Gowa, saya melaju pelan menyusuri jalan raya. Udara masih dingin terasa menusuk sampai tulang meski terbungkus jaket imut saya. Dari Jalan Sultan Hasanuddin masuk ke Jalan Sultan Alauddin, sebagai wilayah perbatasan daerah otonomi Gowa-Makassar.
Sekitar 15 menit kemudian, sampailah saya ke Jalan Penghibur, Pantai Losari. Saya kemudian parkir motor di Depan rumah jabatan (rujab) Walikota Makassar, lalu jalan kak menuju anjungan Pantai Losari.
Pagi itu, orang mulai berdatangan untuk olahraga di area car free day. Jalan-jalan, jogging, sepeda, dan ada juga yang memanfaatkan untuk promosi produk.
Setelah sampai, saya langsung menuju ke anjungan Pantai Losari. Di sana terpampang dua tugu piala Adipura dan di depannya ada tugu perahu phinisi. Di tugu Adipura itu bertuliskan. ‘Adipura Kota Raya 1997, Walikota HA Malik B Masry SE MS’. Kemudian di tugu Adipura kedua bertuliskan ‘Adipura Kota Metro 2013, Walikota Dr Ir H Ilham Arief Sirajuddin MM.
Di sebelah utara Anjungan Pantai Losari, ada tulisan Mandar dan Toraja, yang dilengkapi dengan ciri khas dari kedua suku pribumi Sulsel tersebut, seperti tugu orang yang sedang menenung, tarian khas, dan rumah khas Mandar. Kemudian ada khas Toraja, seperti rumah tongkonan, tarian adat Toraja, dan tedong bonga (kerbau belang) yang ditaruh paling utara.
Saya kemudian melangkahkan kaki ke sebelah selatan tulisan Pantai Losari. Disana bertuliskan Bugis dan Makassar, yang dilengkapi dengan perahu pinisi, paraga, tugu becak, dan rumah adat.
Kemudian di paling selatan, ada masjid mengapung, Masjid Amirul Mukminin, yang di depannya ada tugu para pahlawan asal Sulsel. Tugu paling pertama jika dari arah anjungan dilihat ada Syech Yusuf (1626-1699), Sultan Hasanuddin (1631-1670), Andi Abd Bau Massepe (1918-1947), Arung Palakka (1634-1696), A Sultan Dg Raja (1894-1963), H Aroepala (tanpa tahun), La Sinrang (1856-1938), Lanto Dg Pasewang (tanpa tahun), Ranggong Dg Romo (1915-1947), La Maddukelleng (1700-1765), Jend A Muh Yusuf (1928-2004), Mayjen A Mattalatta (1920-2004).
Ada juga Karaeng Pattingalloang (1600-1654), Amannagappa (tanpa tahun), Datu Museng (tanpa tahun), Maipa Dea Pati (tanpa tahun), A Pangerang Pettarani (1903-1966), satu tugu yang saya tidak kenali karena papan nama hilang, kemudian ada Pongtiku (1846-1907), dan paling ujung selatan dan agak tersembungi ada Datu Luwu, Andi Djemma (1901-1965), serta disebelahnya ada tugu yang bertuliskan prasasti dibukanya Anjungan Pantai Losari, dibuka untuk umum 21 Desember 2012 M, 7 Shafar 1434 H, yang ditandatangi oleh HM Jusuf Kalla.
Saya sebenarnya keliling di anjungan mencari simbol atau ikon Tana Luwu. Setelah saya sampai ke sebelah utara dan melihat anjungan Mandar Toraja, saya kemudian bertanya-tanya, dimana Tana Luwu. Saya sebagai orang yang pernah tinggal dan beristri wija to Luwu tentunya mencari simbol-simbol daerah asal surek I La Galigo tersebut. Namun setelah sampai ke paling ujung sebelah selatan, saya akhirnya melihat simbol itu, yakni Datu Luwu Andi Djemma (1901-1965).
Setelah saya merenung, dan mencari simbol Tana Luwu di Losari, saya akhirnya berkesimpulan, jika memang di Pantai Losari yang ditampilkan ada suku khas Sulsel. Lalu saya teringat perbincangan para pemerhati budaya Tana Luwu, soal Kedatuan (Kerajaan) Luwu, kalau Luwu bukanlah suku, melainkan kerajaan tertua di Sulsel, yang menaungi beberapa suku saat itu. Sukunya tetaplah suku bugis. (***)
Makassar, 8 Februari 2015
Post a Comment