skip to main |
skip to sidebar
Fenomena Sang ‘Ayah’ yang Diplesetkan
Beberapa pekan ini, utamanya di wilayah Sulawesi Selatan (Sulsel), media sosial diramaikan dengan istilah ‘ayah’. Saya tidak tau pasti panggilan atau istilah ayah itu pertama muncul dan dipopulerkan oleh siapa.
Namun yang jelas, istilah ini sudah mewarnai status candaan di media sosial, utamanya gambar yang diposting. Gambar waria (wanita pria) dengan tulisan yang menyertainya menjadi bahan candaan para penghuni media sosial, utamanya di Path, BBM, dan Facebook. Istilah ini hampir menyamai popularitas batu akik.
Kalimat mengandung ayah, dalam foto-foto itu beragam. Seperti “tubles-ma’ ayah”, “cangkul-ma’ ayah”, “standar dua-ka’ ayah”, “refresh-ka’ ayah”, dan masih banyak lagi kalimat yang kata belakangnya selalu ada kata ayah. Kalimat itu biasanya diperuntukkan untuk candaan yang mengarah ke ’seks’ yang dilakoni sang waria.
Dari hasil penerawanan penulis, istilah ‘ayah’ ini adalah regenerasi dari istilah ‘om-om’. Istilah om-om biasanya diperuntukkan kepada orang yang sudah berumur tua atau yang sudah beristri, senang ‘jajang’ dengan wanita ‘nakal’ atau pekerja seks komersial (PSK). Kemudian istilah om ini kemudian ‘dinaikkan statusnya’ menjadi ayah. Istilah ayah ini biasa panggilan mesra para PSK dan waria. Prokem ini sebenarnya sudah lama, namun populer di media sosial sampai ke dunia nyata baru beberapa pekan ini.
Melihat fenomena ini, penulis merasa, kata ayah, yang sejatinya panggilan anak-anak kepada ayah atau bapaknya, diplesetkan ke hal-hal negatif. Penulis merasa khawatir, jika istilah negatif ini terus berkembang, maka ayah yang sebenarnya, tidak mau lagi dipanggil ayah oleh anak-anaknya.
Dari segi dampak sosial, sebenarnya tidaklah terlalu masalah, hanya saja, yang menjadi masalah adalah kata ayah ini sudah ternodai oleh istilah ‘ayah’ yang diartikan negatif.
Namun yang paling penting adalah, jangan sampai ayah dalam arti sebenarnya, tidak menjalankan tugasnya sebagai ayah bagi anak-anak dan istrinya. (***)
Post a Comment