Ratu dunia ratu dunia//Oh wartawan ratu dunia//Apa saja kata wartawan//Mempengaruhi pembaca koran//Bila wartawan memuji//Dunia ikut memuji//Bila wartawan mencaci//Dunia ikut membenci//Wartawan dapat membina//Pendapat umum di dunia.
Bila wartawan terpuji//Bertanggung jawab berbudi//Jujur tak suka berdusta//Beriman serta bertaqwa//Niscaya besar jasanya//Dalam membangun dunia.
Tetapi jikalau wartawan//Suka membuat keonaran//Tak jujur suka bedusta//Tak beriman tak bertaqwa//Biasa merusak dunia//Ibarat racun dunia.
DEMIKIAN penggalan syair qasidah modern berjudul 'Wartawan Ratu Dunia' Ciptaan Drs H Abu Ali Haidar. Dalam syair tersebut menggambarkan betapa besar pengaruh pers dalam membentuk opini publik pembaca atau penontonnya.
Dalam Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) atau Kode Etik Jurnalistik (KEJ), salah satu poinnya disebutkan adalah wartawan harus punya i'tikad atau niat yang baik dalam memberitakan sesuatu.
I'tikad baik dimaksudkan adalah, pemberitaan semata-mata dibuat untuk kepentingan publik. Bukan atas dasar kepentingan pribadi, atau ada tendensi, atau untuk menjatuhkan seseorang dengan memanfaatkan celah kesalahan yang mereka lakukan.
I'tikad baik adalah berita yang dibuat bukan bermaksud untuk menjatuhkan, menyerang, atau menghabisi seseorang. Tapi berita dibuat dengan niat untuk kepentingan publik dan berguna bagi masyarakat.
Hanya untuk mengontrol dan mengingatkan kalau yang dilakukan pejabat bersangkutan adalah keliru dan perlu diperbaiki. Jadi asasnya adalah, semua harus atas kepentingan publik dan punya sisi manfaat.
Wartawan dituntut bagaimana mengkritisi tanpa memaki. Memuji tanpa harus menjilat. Berteman tanpa harus selingkuh. Disitulah tantangan memainkan peran antara bisnis dan idealisme. Namun perlu diingat, terori ini tak semudah membacanya.
Pers adalah ruang publik. Wartawan menjadi pilar keempat, dalam kehidupan berdemokrasi. Meski tidak tertulis dalam konstitusi, namun pers telah diakui menjadi pilar ke-4 negara, setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Tahun 2018 ini, tepat Jumat 9 Februari 2018, adalah Hari Pers Nasional (HPN). Peringatan HPN ke-70 tahun 2018 ini, dipusatkan di Sumatera Barat.
Momen ini mungkin bisa menjadi sarana instrospeksi dan muhasabah dalam menata pers yang lebih baik. Peran pers sebagai ruang publik juga adalah ruang bisnis. Untuk itulah, dibutuhkan kearifan dalam memainkan kedua hal itu.
Jika Dilan menjadi wartawan, mungkin dia akan bilang, “Jangan jadi wartawan. Berat. Kamu nggak akan kuat, biar aku saja.”
Apalagi, hari pers tahun ini, bertepatan dengan makin meningkatnya suhu politik di Pilkada serentak. Pers sebagai penyampai informasi memiliki peran signifikan dalam menggiring opini publik. Apa yang disampaikan menjadi konsumsi publik.
Setiap informasi sudah pasti ada plus minusnya. Ada yang dirugikan, ada juga yang diuntungkan, utamanya dalam issu-issu lokal yang tengah menghelat pilkada.
Karena pers menjadi media yang dinilai masih berperan penting menggiring opini publik, karena dipercaya informasi yang disampaikan lebih dapat dipertanggungjawabkan, berbeda dengan informasi yang wara wiri di media sosial dan dikendalikan akun abal-abal, maka pers menjadi pilihan para politik dalam menggiring opini publik.
Mungkin karena ditakutkan pers tak terkontrol dalam memainkan opini publik, sehingga dewan pers mengeluarkan edaran jelang perhelatan Pilkada serentak 2018 dan Pileg 2019.
Wartawan yang terlibat politik praktis, baik menjadi timses atau mencalonkan, diminta agar tidak aktif sementara dalam dunia kewartawanan. Sebab ditakutkan membawa dampak sosial yang berpotensi memprovokasi dan mengganggu stabilitas keamanan dan ketertiban.
Semoga kita semua bisa lebih bijak dalam menyampaikan informasi. Juga bijak dalam menerima informasi yang disampaikan, baik melalui media massa ataupun media sosial serta dari mulut ke mulut. Sehingga momen politik tak terciderai dengan hal-hal yang tidak diinginkan bersama. Jangan terlalu baper (baca, bawa perasaan) dari setiap informasi. Selamat Hari Pers Nasional tahun 2018. (*)
Post a Comment