Ilustrasi (net) |
Penetapan penghitungan tahun dalam kalender Islam ini ditandai dengan peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad SAW, bersama pengikutnya, dari Makkah ke Madinah (dulu Yasrib) pada bulan Rabiul Awal, tahun 622 Masehi.
Dalam sejarah, penetapan tahun baru Islam atau tahun baru Hijriah baru ditetapkan oleh Khalifah Umar bin Al-Khattab, beberapa tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW.
Kalender Hijriah belum ada ketika zaman Rasulullah. Kalender Hijriah ini baru ditetapkan pada zaman Khalifah Arrasyidin kedua, di masa pemerintahan Umar bin Al-Khattab, atau 6 tahun setelah Nabi Muhammad wafat, atau 17 tahun setelah peristiwa hijrahnya Nabi SAW.
Riwayat menyebutkan, munculnya tahun baru Hijriah dilatarbelakangi ketika khalifah Umar dapat balasan surat, yang mengkritik bahwa suratnya terdahulu dikirim tanpa tahun.
Atas peristiwa itu, Khalifah Umar bermusyawarah dengan para sahabat. Akhirnya bersepakat menjadikan peristiwa hijrah Muhammad dari Mekah ke Madinah sebagai awal mula perhitungan tahun dalam Islam.
Namun peristiwa hijrah itu terjadi pada tanggal 12 bulan Rabiul Awal, yang saat itu bertepatan dengan tahun 622 masehi, bukan bertepatan tanggal 1 bulan Muharram, sebagai yang dikenal awal tahun dalam penanggalan tahun baru hijriyah.
Dalam catatan sejarah, jauh sebelum Islam datang, bangsa Arab sudah mengenal penghitungan bulan. Hanya saja, belum ada penghitungan tahun. Sehingga Khalifah Umar, bersama para sahabat sepakat mengawali penghitungan tahun dalam kalender Islam, berdasar pada peristiwa hijrahnya Nabi SAW, namun soal penghitungan tanggal dan bulan, tetap mengacu pada penanggalan yang telah dikenal bangsa Arab saat itu.
Hijrahnya Nabi SAW ini dikarenakan penolakan dari masyarakat Makkah saat itu. Bahkan, dalam Wikipedia disebutkan, tercium ada skenario pembunuhan kepada Nabi Muhammad, pada September 622. Maka secara diam-diam Nabi Muhammad bersama Abu Bakar pergi meninggalkan kota Mekkah. Nabi Muhammad dan pengikutnya berhijrah ke Yasrib, 320 kilometer (200 mil) utara Mekkah.
Peristiwa hijraturrasul ini, banyak mengandung hikmah dan pesan bagi umat manusia. Seakan ada pesan yang ingin digambarkan secara gamblang, bahwa jika engkau tidak berhasil di tanah kelahiranmu, maka merantaulah ke kampung orang.
Peristiwa ini dibuktikan dengan dakwah Nabi Muhammad SAW yang sukses di tanah Yasrib atau Madinah. Dari 23 tahun masa dakwah Nabi SAW, selama 13 di Makkah dan 10 tahun di Madinah, menunjukkan bahwa dakwah Nabi SAW sukses di Madinah, di kampung orang.
Namun saat sukses di tanah rantau, jangan lupa kampung halaman. Pulanglah untuk membantu dan membangun kampung halaman. Seperti Nabi SAW, yang pulang ke Makkah, yang dikenal dengan Fathu Makkah, atau pembebasan Mekkah. Nabi SAW bersama pasukannya berhasil menguasai Mekkah secara keseluruhan tanpa pertumpahan darah sedikitpun.
Merantau banyak diaplikasikan di kalangan masyarakat, sebagai salah satu cara mendidik dan membentuk karakter sang anak. Seperti yang dilakukan para raja terdahulu, yang biasanya sebelum diangkat jadi penerus kerajaan, sang pangeran harus dikirim ke suatu wilayah, sebagai proses pencarian jati dirinya.
Dalam tradisi Bugis-Makassar, juga dikenal merantau. Ini proses menantang diri sendiri bagaimana bisa bertahan hidup di kampung orang yang tidak dikenal. Tanpa ada harapan dibantu keluarga. Biasanya, jika sukses keluar dari keterpurukan di tanah rantau, maka akan mampu survive tanpa terkalahkan.
Peristiwa ini juga menyampaikan pesan kepada kita, untuk mampu 'move on' dari hal-hal negatif menuju kebaikan. Termasuk 'move on' dari kenangan buruk masa lalu. Berbenah diri. Nabi telah menyampaikan, siapa yang tahun ini sama saja dengan tahun lalu, maka sangatlah merugi. Wallahu a'lam bisshawab. Selamat tahun baru, 1 Muharram 1439 H. (raufo.blogspot.com)
Palopo, Kamis, 1 Muharram 1439 H / 21 September 2017 M
Post a Comment