Melembut

Monday, January 19, 20150 komentar

ilustrasi/int

Dikisahkan, seorang buta selalu mangkal di sudut pasar di Mekkah. Atas gosip yang didengarnya, orang buta ini kemudian sangat membenci Rasulullah saw.

Meski Rasulullah saw tahu kalau orang ini sangat membencinya, namun Nabi saw rutin mengunjungi orang ini untuk menyuapi makan. Suatu saat, saat Nabi saw meninggal, Nabi saw digantikan Abubakar, namun orang ini tahu kalau bukan orang yang biasa menyuapinya datang. Ia pun bertanya, kemana orang yang biasa menyuapinya.

"Kemana orang yang selalu menyuapi saya. Kelembutannya tidak sama seperti engkau," kata si buta kepada Abubakar.

Saat itu, khalifah Abubakar memberitahu jika orang yang selalu menyuapinya adalah Nabi Muhammad saw, orang yang selama ini dibenci dan dicacinya. Maka atas kelembutan hati Nabi, orang ini kemudian sadar dan akhirnya tersentuh oleh kelembutan hati dan sikap nabi dan si buta mengucapkan dua kalimat syahadat.

Lembut. Salah satu sifat Allah adalah maha lembut. Al-latif. Maha lemah lembut. Sifat Allah dalam asmaul husna lebih banyak menyebutkan masalah kelembutan. Seperti kasih sayang, pengasih dan penyayang, arrahman, arrahim, arrauf.

Dengan melihat mayoritas sifat Allah yang lebih banyak bermakna lembut, ini mengisyaratkan umat manusia sebagai khalifatan fil ardh, harus mengandalkan sifat lembutnya dalam menjalankan perintah dan amanah yang diberikan Allah kepadanya.

Dalam kasus memimpin misalnya. Orang kebanyakan sering mengartikan, jika tegas itu berarti keras dalam memimpin. Padahal kalau dicermati lebih jauh, ketegasan itu bisa dalam wujud lembut. Tegas dalam arti komitmen terhadap aturan yang ada. Cara menegakkan aturan, bisa dengan cara menyentuh hati orang-orang. Menyentuh hati itu hanya bisa dilakukan dengan cara yang lembut. Seperti yang dicontohkan Nabi saw pada setiap kesempatan.

Mustahil orang yang disentuh dengan kekerasan mampu melakukan sesuatu dengan ikhlas. Mereka hanya melakukan karena takut dan sekedar menggugurkan kewajiban. Setelah rasa takut dan kewajibannya selesai, mereka akan berhenti di situ. Mereka tidak akan mau berbuat lebih.

Begitu juga dengan mendidik dengan kekerasan. Untuk itu, anak harus dididik dengan lembut. Anak punya hati yang masih sangat lembut, makanya harus disentuh dengan lembut. Jika mereka disentuh dengan kekerasan, maka hati yang lembut itu tidak akan menerimanya dengan baik. Akan sulit tercerna, dan akhirnya sang hati anak itu akan berubah keras. Dan pada gilirannya, hati itu akan berbalik kepada orang yang membentuknya menjadi keras. (*)

********************************

Berikut tulisan Prof Rhenald Kasali yang bisa menjadi salah satu contoh pentingnya kelembutan dalam mendidik..
BUDAYA PENJAJAHAN UNTUK BANGSA TERJAJAH
BUDAYA PARA PENJAJAH YANG TIDAK PERNAH DI TERAPKAN UNTUK ANAK-ANAK BANGSA MEREKA SENDIRI
BUDAYA MENGHUKUM DAN MENGHAKIMI PARA PENDIDIK DI INDONESIA
BUDAYA KEBODOHAN YANG MASIH TERUS DILESTARIKAN HINGGA HARI INI
-Mulai sejak SD hingga Perguruan Tinggi-
-Mulai dari guru dan dosen hingga para Senior ke Junior-

Ditulis oleh: Prof. Rhenald Kasali
(Guru Besar FE UI)

LIMA belas tahun lalu saya pernah mengajukan protes pada guru sebuah sekolah tempat anak saya belajar di Amerika Serikat. Masalahnya, karangan berbahasa Inggris yang ditulis anak saya seadanya itu telah diberi nilai E (excellence) yang artinya sempurna, hebat, bagus sekali. Padahal dia baru saja tiba di Amerika dan baru mulai belajar bahasa.
Karangan yang dia tulis sehari sebelumnya itu pernah ditunjukkan kepada saya dan saya mencemaskan kemampuan verbalnya yang terbatas. Menurut saya tulisan itu buruk, logikanya sangat sederhana. Saya memintanya memperbaiki kembali, sampai dia menyerah.

Rupanya karangan itulah yang diserahkan anak saya kepada gurunya dan bukan diberi nilai buruk, malah dipuji. Ada apa? Apa tidak salah memberi nilai? Bukankah pendidikan memerlukan kesungguhan? Kalau begini saja sudah diberinilai tinggi, saya khawatir anak saya cepat puas diri.
Sewaktu saya protes, ibu guru yang menerima saya hanya bertanya singkat. “Maaf Bapak dari mana?”
“Dari Indonesia,” jawab saya.
Dia pun tersenyum.

BUDAYA MENGHUKUM

Pertemuan itu merupakan sebuah titik balik yang penting bagi hidup saya. Itulah saat yang mengubah cara saya dalam mendidik dan membangun masyarakat.
“Saya mengerti,” jawab ibu guru yang wajahnya mulai berkerut, namun tetap simpatik itu. “Beberapa kali saya bertemu ayah-ibu dari Indonesia yang anak anaknya dididik di sini,” lanjutnya. “Di negeri Anda, guru sangat sulit memberi nilai. Filosofi kami mendidik di sini bukan untuk menghukum, melainkan untuk merangsang orang agar maju. Encouragement! ” Dia pun melanjutkan argumentasinya.
“Saya sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbeda-beda. Namun untuk anak sebesar itu, baru tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris, saya dapat menjamin, ini adalah karya yang hebat,” ujarnya menunjuk karangan berbahasa Inggris yang dibuat anak saya.
Dari diskusi itu saya mendapat pelajaran berharga. Kita tidak dapat mengukur prestasi orang lain menurut ukuran kita.
Saya teringat betapa mudahnya saya menyelesaikan study saya yang bergelimang nilai “A”, dari program master hingga doktor.
Sementara di Indonesia, saya harus menyelesaikan studi jungkir balik ditengarai ancaman drop out dan para penguji yang siap menerkam. Saat ujian program doktor saya pun dapat melewatinya dengan mudah.
Pertanyaan mereka memang sangat serius dan membuat saya harus benar-benar siap. Namun suasana ujian dibuat sangat bersahabat. Seorang penguji bertanya dan penguji yang lain tidak ikut menekan, melainkan ikut membantu memberikan jalan begitu mereka tahu jawabannya. Mereka menunjukkan grafik-grafik yang saya buat dan menerangkan seterang-terangnya sehingga kami makin mengerti.
Ujian penuh puja-puji, menanyakan ihwal masa depan dan mendiskusikan kekurangan penuh keterbukaan.
Pada saat kembali ke Tanah Air, banyak hal sebaliknya sering saya saksikan. Para pengajar bukan saling menolong, malah ikut “menelan” mahasiswanya yang duduk di bangku ujian.

***

Etika seseorang penguji atau promotor membela atau meluruskan pertanyaan, penguji marah-marah, tersinggung, dan menyebarkan berita tidak sedap seakan-akan kebaikan itu ada udang di balik batunya. Saya sempat mengalami frustrasi yang luar biasa menyaksikan bagaimana para dosen menguji, yang maaf, menurut hemat saya sangat tidak manusiawi.

Mereka bukan melakukan encouragement, melainkan discouragement. Hasilnya pun bisa diduga, kelulusan rendah dan yang diluluskan pun kualitasnya tidak hebat-hebat betul. Orang yang tertekan ternyata belakangan saya temukan juga menguji dengan cara menekan. Ada semacam balas dendam dan kecurigaan.

Saya ingat betul bagaimana guru-guru di Amerika memajukan anak didiknya. Saya berpikir pantaslah anak-anak di sana mampu menjadi penulis karya-karya ilmiah yang hebat, bahkan penerima Hadiah Nobel. Bukan karena mereka punya guru yang pintar secara akademis, melainkan karakternya sangat kuat: karakter yang membangun, bukan merusak.

Kembali ke pengalaman anak saya di atas, ibu guru mengingatkan saya. “Janganlah kita mengukur kualitas anak-anak kita dengan kemampuan kita yang sudah jauh di depan,” ujarnya dengan penuh kesungguhan.

Saya juga teringat dengan rapor anak-anak di Amerika yang ditulis dalam bentuk verbal.

Anak-anak Indonesia yang baru tiba umumnya mengalami kesulitan, namun rapornya tidak diberi nilai merah, melainkan diberi kalimat yang mendorongnya untuk bekerja lebih keras, seperti berikut. “Sarah telah memulainya dengan berat, dia mencobanya dengan sungguh-sungguh. Namun Sarah telah menunjukkan kemajuan yang berarti.”

Malam itu saya mendatangi anak saya yang tengah tertidur dan mengecup keningnya. Saya ingin memeluknya di tengah-tengah rasa salah telah memberi penilaian yang tidak objektif.

Dia pernah protes saat menerima nilai E yang berarti excellent (sempurna), tetapi saya mengatakan “gurunya salah”. Kini saya melihatnya dengan kacamata yang berbeda.

MELAHIRKAN KEHEBATAN

Bisakah kita mencetak orang-orang hebat dengan cara menciptakan hambatan dan rasa takut? Bukan tidak mustahil kita adalah generasi yang dibentuk oleh sejuta ancaman: gesper, rotan pemukul, tangan bercincin batu akik, kapur, dan penghapus yang dilontarkan dengan keras oleh guru, sundutan rokok, dan seterusnya.

Kita dibesarkan dengan seribu satu kata-kata ancaman: Awas…; Kalau,…; Nanti,…; dan tentu saja tulisan berwarna merah menyala di atas kertas ujian dan rapor di sekolah.

Sekolah yang membuat kita tidak nyaman mungkin telah membuat kita menjadi lebih disiplin. Namun di lain pihak dia juga bisa mematikan inisiatif dan mengendurkan semangat. Temuan-temuan baru dalam ilmu otak ternyata menunjukkan otak manusia tidak statis, melainkan dapat mengerucut (mengecil) atau sebaliknya, dapat tumbuh.

Semua itu sangat tergantung dari ancaman atau dukungan (dorongan) yang didapat dari orang-orang di sekitarnya. Dengan demikian kecerdasan manusia dapat tumbuh, sebaliknya dapat menurun. Seperti yang sering saya katakan, ada orang pintar dan ada orang yang kurang pintar atau bodoh.

Tetapi juga ada orang yang tambah pintar dan ada orang yang tambah bodoh.

Mari kita renungkan dan mulailah mendorong kemajuan, bukan menaburkan ancaman atau ketakutan. Bantulah orang lain untuk maju, bukan dengan menghina atau memberi ancaman yang menakut-nakuti. (*)
Share this article :

Post a Comment

 
Support : TEKAPE.co | Arsip
Copyright © 2015. Catatan Abd Rauf - All Rights Reserved
Desain by Berita Morowali Powered by Abd Rauf