Melalui momen Hari Buruh 1 Mei dan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2 Mei 2016 ini, saya ingin berbagi cerita terkait masalah pendidikan yang saya amati.
Saat masih kecil, saya biasa mendengar, "sekolahlah, supaya bisa bekerja di perusahaan ternama." Atau saat kuliah, kita 'dipaksa' mendapat nilai tinggi dari teori-teori yang rumit, yang kadang kita sendiri tidak tau apa tujuannya.
Kita jarang mendapat motivasi atau dorongan dari sekolah atau kampus untuk bisa menciptakan lapangan pekerjaan dengan cara berwirausaha.
Nyaris tak pernah ditemukan agar anak-anak didiknya membangun usaha sendiri. Tapi selalu didoktrin untuk menjadi pekerja, bukan mempekerjakan. Mungkin tidak terlalu keliru kalau kita, utamanya masyarakat pribumi, memang dididik untuk menjadi buruh.
Wirausaha sekarang, dari pengamatan saya, kebanyakan lahir karena keterpaksaan. Mereka dipaksa dengan keadaan dan tuntutan hidup. Sementara di sisi lain lapangan pekerjaan tidak ada, atau tidak menemukan pekerjaan yang layak. Maka dengan terpaksa, buka usaha kecil-kecilan, sebagai penyambung hidup.
Saya pernah bincang-bincang dengan salah seorang anggota DPRD, yang mungkin tak perlu saya tulis namanya. Ia menceritakan betapa bangku kuliah hanya diajari teori. Hasilnya, ketika selesai wisuda, mereka kembali ke kampung masing-masing. Kembali mengabdi di kampung halaman.
Sang anggota dewan yang terhormat itu kemudian melanjutkan, jika anak-anak tak perlu kuliah. Cukup sampai SMA, bisa membaca dan menulis, serta paham sedikit teori. Selebihnya bisa diperoleh dalam pengalaman. Di internet, rajin membaca, dan sharing dengan teman.
Yang penting adalah bagaimana anak generasi muda ini dibekali skill atau keterampilan. Mereka harus diajar bagaimana menghadapi kehidupan nyata. Bukan bergelut dalam balutan teori. (***)
Saat masih kecil, saya biasa mendengar, "sekolahlah, supaya bisa bekerja di perusahaan ternama." Atau saat kuliah, kita 'dipaksa' mendapat nilai tinggi dari teori-teori yang rumit, yang kadang kita sendiri tidak tau apa tujuannya.
Kita jarang mendapat motivasi atau dorongan dari sekolah atau kampus untuk bisa menciptakan lapangan pekerjaan dengan cara berwirausaha.
Nyaris tak pernah ditemukan agar anak-anak didiknya membangun usaha sendiri. Tapi selalu didoktrin untuk menjadi pekerja, bukan mempekerjakan. Mungkin tidak terlalu keliru kalau kita, utamanya masyarakat pribumi, memang dididik untuk menjadi buruh.
Wirausaha sekarang, dari pengamatan saya, kebanyakan lahir karena keterpaksaan. Mereka dipaksa dengan keadaan dan tuntutan hidup. Sementara di sisi lain lapangan pekerjaan tidak ada, atau tidak menemukan pekerjaan yang layak. Maka dengan terpaksa, buka usaha kecil-kecilan, sebagai penyambung hidup.
Saya pernah bincang-bincang dengan salah seorang anggota DPRD, yang mungkin tak perlu saya tulis namanya. Ia menceritakan betapa bangku kuliah hanya diajari teori. Hasilnya, ketika selesai wisuda, mereka kembali ke kampung masing-masing. Kembali mengabdi di kampung halaman.
Sang anggota dewan yang terhormat itu kemudian melanjutkan, jika anak-anak tak perlu kuliah. Cukup sampai SMA, bisa membaca dan menulis, serta paham sedikit teori. Selebihnya bisa diperoleh dalam pengalaman. Di internet, rajin membaca, dan sharing dengan teman.
Yang penting adalah bagaimana anak generasi muda ini dibekali skill atau keterampilan. Mereka harus diajar bagaimana menghadapi kehidupan nyata. Bukan bergelut dalam balutan teori. (***)
Post a Comment