Para relawan pengajar Kelas Inspirasi Palopo, saat di Pantai Labombo, 3/5/2016. (ft:dok) |
Menginspirasi sekaligus terinspirasi. Itulah yang saya peroleh saat ikut program Kelas Inspirasi Palopo, Selasa 3 Mei 2016.
Masih pagi buta, saya harus bangun bergegas menuju sekolah tempat saya untuk berbagi pengalaman kepada anak-anak sekolah dasar (SD), di Madrasah Ibtidaiyah (MI) Daru Da'wah wal Irsyad (DDI) I Palopo.
Sekolah itu berada di tengah kota, dekat salah satu pasar tradisional di Kota Palopo, Pasar Andi Tadda. Namun lokasinya agak tersembunyi. Apalagi, setelah bangunan pasar direnovasi, para pedagang ditempatkan sementara di antara bangunan sekolah. Pedagang bahkan sampai ada yang jualan tepat di pagar sekolah.
Untuk sampai disana, hanya satu akses jalan, karena jalannya ditutup oleh pasar sementara. Saya sempat keliling mencari jalan ke sekolah berusia cukup tua tersebut.
Sesampai di lokasi, briefing sudah dimulai. Saya termasuk agak lambat. Melihat muka para murid, saya langsung semangat. Mereka tampak punya energi khusus.
Meski bau harum bercampur aneh pasar, tak menyurutkan semangat para relawan pengajar yang siap menginspirasi.
Saya mendapat kesempatan pertama masuk ke kelas IVA. Saat masuk, tampak wajah penasaran para siswa, siapa gerangan yang datang. Dimulai dengan doa belajar. Ibu gurunya kemudian memperkenalkan masksud kedatangan saya.
Saya memulai dengan memperkenalkan diri, mulai dari nama hingga profesi. Karena tujuan dari kelas inspirasi ini adalah memperkenalkan profesi, maka saya yang berprofesi jurnalis atau wartawan, memulai bertanya dengan apa itu wartawan.
Sontak mereka diam saat saya tanya. Ada dari mereka terus terang tidak tau. Saya kemudian melanjutkan pertanyaan saya, sambil memperlihatkan koran, saya bertanya "pernah liat atau pernah baca ini?" Mereka serentak mengaku belum tahu dan belum pernah baca.
Saya hanya senyum melihat kondisi murid-murid yang ada di tengah kota tersebut. Saya kemudian melanjutkan pertanyaan, apakah biasa nonton televisi dan berita, para bocah ini langsung teriak, "sering..."
Saya kemudian memperkenalkan apa itu wartawan. Entah mereka paham apa yang saya jelaskan atau tidak, yang jelas mereka tidak ada yang berminat jadi wartawan. Saya sempat tanya satu-satu, namun cita-cita mereka hanya berkisar polisi, tentara, dokter, dan pelayaran. Ada juga yang mengaku belum tau mau jadi apa nanti.
Tepat pukul 08:00 wita pagi, pergantian jam. Karena agak terlambat masuk, sehingga hanya sekira 15 menit bertatap muka di kelas pertama saya. Sejam kemudian, suara riuh murid MI ini menyambut saya di kelas IIIA.
Mereka setingkat lebih di atas. Mereka sudah pernah liat dan baca koran. Juga mereka sudah pernah dengar kata wartawan. Jadi saya tinggal memberitahu apa yang dikerjakan wartawan dan apa enaknya jadi wartawan.
Namun di ujung jam, di kelas ini juga tak satu pun yang ingin jadi wartawan. Mereka hanya ingin guru, bidan, dokter, polisi, tentara, dan pelayaran. Itulah yang mereka tahu. 'Hidayah' untuk memilih profesi lain kalau besar nanti belum datang.
Usai jam istirahat, saya dapat jatah lagi di kelas VIB. Mereka sudah agak lebih paham. Saat saya memperkenalkan profesi, mereka tampak terdengar kata 'tawwa...' Berarti di benak mereka, wartawan itu hebat.
Mereka sudah paham apa itu koran dan wartawan. Saya pancing apa enak dan hebatnya jadi wartawan, mereka tampak serius mendengar. Ditambah bumbu-bumbu penyedap rasa, mereka mendengar dengan baik.
Namun sayangnya, di ujung pertemuan, mereka juga tidak ada yang terinspirasi untuk menjadi wartawan. Meski di kelas itu ada cucu dari wartawan senior di Luwu Raya, namun tak ada yang ingin jadi wartawan. Tetap bertahan pada tembok impian yang berkisar dokter, polisi, tentara, pelayaran, dan ada juga pilot.
Di ujung jam kelas inpirasi, saya sebenarnya sedih karena merasa tidak berhasil menginspirasi. Saat para murid diminta tuliskan impian dan cita-citanya. Sebelumnya saya enggan melihat tempelan cita-cita mereka, karena saya yakin tidak ada yang ingin jadi jurnalis.
Tapi teman relawan lainnya memperlihatkan kalau ternyata ada juga diantara mereka yang menuliskan cita-citanya ingin jadi wartawan. Sedikitnya ada dua orang menulis ingin jadi jurnalis. Terima kasih sudah memberi inspirasi.
Kelas Inspirasi ini salah satu tujuannya adalah memberi tahu bahwa pilihan profesi itu tidak hanya berkutat pada soal polisi, tentara, dokter, dan guru. Tapi ada banyak profesi lain yang. Dengan berbagi pengalaman tentang profesi masing-masing, para murid-murid SD ini bisa memilih mana yang cocok dengan jiwanya.
Sekolah MI DDI I Palopo ini punya murid 403 orang, dengan jumlah 13 kelas dan ditangani 23 guru, lima diantaranya PNS, selebihnya honorer.
Kepala MI DDI I Palopo, Drs H Ibnu Hajar, juga menceritakan soal sejarah sekolah ini. Menurutnya, sekolah ini sebenarnya berdiri sejak tahun 1930-an. Dulunya dikenal sekolah Arab, dengan nama Madrasah Arabiyah Islamiyyah.
Kemudian sejak tahun 1947, sekolah ini berubah nama menjadi DDI, yang dipelopori ulama besar Sulsel, KH Ambo Dalle.
"Sejak dulu, sekolah ini bangunannya hanya berdinding papan. Nanti tahun 2007 baru direhab, seperti bangunan permanen sekarang ini," terang Ibnu Hajar.
Ia juga menjelaskan, murid yang sekolah di madrasah ini kebanyakan anak nelayan, tukang ojek, buruh kasar, pedagang kecil di pasar. "Hanya sedikit sekali ada anak pegawai," katanya. (****)
Pohon cita-cita murid MI DDI I Palopo. Salah satunya menulis ingin jadi wartawan. :D |
Post a Comment